Penulis: Addin Anugrah S
Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) bersama PT PLN (Persero) sukses menggelar forum diskusi interaktif METI GREEN TALK yang bertajuk “Strategi Penjaminan Penyediaan Bahan Baku dan Peningkatan Keekonomian untuk Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm)”. Acara ini diselenggarakan pada Senin, 30 September 2024 di Auditorium PT. PLN (Persero) Kantor Pusat, Jakarta.
Acara ini dihadiri oleh para pemangku kepentingan dari berbagai sektor, termasuk tokoh-tokoh pemerintah, industri dan organisasi energi terbarukan, diantaranya :
- Bapak Eddy Soeparno, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI
- Bapak Joko Tri Haryanto, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup
- Bapak Nizhar Marizi, Direktur Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan Kementerian PPN/BAPPENAS
- Bapak Zainal Arifin, Executive Vice President Aneka Energi Baru Terbarukan PT. PLN (Persero)
- Bapak Milton Pakpahan, Ketua Umum Masyarakat Energi Biomasa Indonesia
- Ibu Anita Puspita Sari, Vice President Strategi Pengembangan Bisnis Biomasa PT. PLN Energi Primer Indonesia
- Mr. Alvin Lee, Regional Head for Asia Pacific Puro.Earth
- Bapak Ruandha Agung Sugardiman, Ketuam Harian 1 Tim Indonesia Folu Net Sink 2030 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI
- Bapak Widi Pancono, Ketua 3 Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia
- Bapak Jaya Wahono, Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia
Pada forum ini membahas strategi untuk menjamin ketersediaan bahan baku biomassa serta cara meningkatkan keekonomian Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) di Indonesia.
Ketua Umum METI, Wiluyo Kusdwiharto, dalam sambutannya mengungkapkan perkembangan signifikan dalam pemanfaatan bioenergi nasional, berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Saat ini, potensi Pembangkit Listrik Tenaga Biomasa (PLTBm) diproyeksikan mencapai 313 MW, dengan sejumlah PLTBm telah beroperasi di beberapa daerah, seperti Deli Serdang, Ujung Batu, Pasir Mandoge, Arung Dalam, dan Sandai dengan total kapasitas 27 MW. Wiluyo juga menjelaskan rencana peningkatan kapasitas PLTBm hingga 1 GW dalam RUPTL mendatang.
Namun, ia juga menyoroti stagnasi Program Hutan Tanaman Energi (HTE), yang seharusnya bisa memanfaatkan lahan-lahan kosong di Indonesia.
“Program HTE ini rasanya jalan di tempat, padahal HTE ini sebenarnya memiliki potensi keberlanjutan yang lebih terukur dalam memanfaatkan lahan-lahan kosong untuk ditanami tanaman energi” Ujar Wiluyo
Wiluyo juga menegaskan perlunya dukungan dan sinkronisasi regulasi yang kuat dari pemerintah, hal ini dinilai penting untuk mempercepat pengembangan biomassa di dalam negeri.
“Sinkronisasi regulasi ini sangat penting. Beberapa kali kami menghadapi bahwa harga biomassa sudah ditetapkan oleh Kementerian ESDM, namun untuk implementasinya di PT PLN, kami masih harus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan agar biaya ini dapat masuk dalam biaya operasional yang diperbolehkan. Hal ini lumayan menghambat kami beserta teman-teman pengembang biomass dalam memanfaatkan biomassa” ucapnya.
Potensi dan Tantangan dalam Pengembangan Bioenergi
Trois Dilisusendi, Koordinator Investasi dan Kerja Sama Bioenergi, dalam paparannya berjudul “Kebijakan Pengembangan PLTBm di Indonesia” menjelaskan bahwa bioenergi merupakan sumber energi terbarukan yang paling lengkap.
Indonesia memiliki potensi besar bioenergi dari biomassa yang apabila dikonversi menjadi listrik setara dengan 56,97 GW. Pada akhir 2023, kontribusi bioenergi dalam bauran energi terbarukan mencapai 7,4% dari total 13,3%.
Trois juga menegaskan bahwa pengembangan bioenergi dapat mensubstitusi energi fosil di berbagai sektor, termasuk kelistrikan, transportasi, industri, dan rumah tangga. “
“Pengembangan bioenergi nasional mencakup pemanfaatan bahan bakar nabati, pemanfaatan biomassa sebagai substitusi batubara melalui co firing di PLTU, serta pemanfaatan sampah organik sebagai sumber energi” ujar Trois.
Namun, beberapa tantangan masih dihadapi dalam pengembangan sektor biomassa, seperti pengadaan bahan bakar biomassa (B3m) yang memenuhi skala keekonomian, biaya transportasi dan logistik, serta pasokan biomassa yang berkelanjutan. Selain itu, tantangan harga, ketersediaan bahan, dan penerapan standar teknis seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk bahan bakar biomassa juga menjadi perhatian penting.
Potensi dan Dukungan Regulasi Biofuel di Indonesia
Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Eddy Soeparno, dalam paparannya yang berjudul “Visi Energi Hijau Indonesia: Memanfaatkan Peluang Menjadi Pusat Produksi Bahan Bakar Nabati Dunia” menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat harus disertai dengan pengembangan energi hijau.
Menurutnya, Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi besar untuk memanfaatkan bioenergi dari kelapa sawit, minyak jelantah, tebu, dan berbagai limbah pertanian lainnya.
Dalam upayanya, Indonesia telah menerapkan program B35 yang menggunakan 35% biodiesel dari minyak sawit. Namun, untuk mencapai keberlanjutan, Eddy menekankan pentingnya penerapan sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dalam pengelolaan kelapa sawit guna meminimalisir dampak lingkungan. Pemanfaatan minyak jelantah sebagai biodiesel juga menjadi solusi untuk mengurangi emisi CO2 hingga 80% dibandingkan dengan diesel konvensional.
Dalam sesi tanya jawab, Eddy Soeparno menyatakan komitmennya untuk mendukung Energi Terbarukan dari sisi regulasi. Ia menyatakan pada saat ini tengah fokus menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) untuk pemerintahan mendatang, termasuk program-program dan kebijakan-kebijakan tentang biomassa.
Kesimpulan
Indonesia memiliki potensi biomassa yang melimpah, dengan jumlah limbah biomassa pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang mencapai lebih dari 100 juta ton per tahun. Hal ini berpotensi menghasilkan biogas sebesar 10 juta ton per tahun, cukup untuk memenuhi kebutuhan LPG domestik. Selain itu, lebih dari 11 juta hektar lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) dapat dikonversi menjadi Hutan Tanaman Energi (HTE), sehingga menghasilkan biomassa yang dapat menggantikan batubara di PLTU hingga setara 56,97 GW.
Dalam acara diskusi METI GREEN TALK ini, DPR RI menyatakan komitmennya untuk mendukung dari sisi regulasi dan pada saat ini sedang dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) termasuk program-program dan kebijakan-kebijakan tentang biomassa.
METI, PT. PLN (Persero) dan DPR RI sepakat bersama-sama menegaskan bahwa kolaborasi antar pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk mewujudkan visi Indonesia sebagai raja energi hijau dunia. Kolaborasi ekosistem pentahelix antara pemerintah, pengembang, masyarakat, akademisi, dan komunitas menjadi kunci penting dalam pengembangan bioenergi dan pencapaian target bauran energi terbarukan di Indonesia.